Sabtu, 31 Januari 2015

Sindrom Nefrotik

I. PENDAHULUAN

Sindrom Nefrotik (SN) adalah kumpulan dari manifestasi renal dan ekstrarenal yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit sistemik maupun kerusakan primer pada ginjal, yang meliputi proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema anasarka, serta hiperlipidemia dan lipiduria
 Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g /l), hiperkolesterolemia(total kolesterol > 10 mmol/L), dan manifestasi klinis edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. 1,2
SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1 pada orang dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.1,2
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2, 3



II.       ETIOLOGI

Sebagian besar kasus sindrom nefrotik muncul karena disebabkan oleh penyakit ginjal primer. Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS) merupakan jenis yang ditemukan pada sepertiga dari seluruh kasus SN primer (idiopatik).3
Namun, FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang diketahui terjadi pada usia remaja. Penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA terjadi pada sekitar 25% kasus SN idiopatik. Kondisi lain, seperti glomerulonefritis membranoproliferatif jarang terjadi. FSGS tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit ginjal tahap akhir (ESRD). Di sisi lain, penyebab terbanyak dari kasus SN sekunder yakni diabetes mellitus.3

 



















Tabel 1. Jenis tersering dari sindrom nefrotik idiopatik 3
 



 
 






a.   Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kasusnya dan terdiri atas sindrom nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi1,3-5 :
1.  GN lesi minimal (GNLM);
2.  Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);
3.  GN membranosa (GNMN);
4.  GN Membranoproliferatif (GNMP);
5   GN proliferatif lain.1,3-5



b. Penyebab Sekunder
1.      Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra, skistosoma
2.      Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma (paru, payudara, kolon), multiple myeloma, karsinoma ginjal
3.      Jaringan penghubung : Systemic Lupus Erytematous (SLE), Reumatoid artritis, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
4.      Metabolik : Diabetes melitus, amiloidosis
5.      Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril, heroin
6.      Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang sensitif terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsi), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy. 1,3-5

III.    EPIDEMIOLOGI
Prevalensi SNKM di Negara barat sekitar 2-3 kasus per 100.000 anak < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-rata 2-5 tahun.2

IV.    PATOFISIOLOGI
a.      Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.1,5
b.      Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.1
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.1,5

c.       Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan peningkatan profil lipid dalam darah yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Kolesterol serum yang mengalami peningkatan yakni VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein), ILDL (intermediate-density lipoprotein), sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.1,5


d.      Edema
Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik dan bergesernya cairan plasma, terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu menjaga cairan intravaskuler.1,5
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama.Retensi natrium menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan terus mengaktivasi system retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga edema semakin berlanjut.1,5

V.       TANDA DAN GEJALA

Tanda yang terdapat pada sindrom nefrotik yakni terdapat proteinuria massif >3-3,5 gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni edema pada kedua tungkai, berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain dapat disertai edema periorbital dan edema genital, asites, atau efusi pleura maupun efusi perikard.3

VI.    DIAGNOSIS

Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1
1.      Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot >300-350 mg/mmol.
2.      Serum albumin <2,5 gr/dl.
3.      Manifestasi klinis edema perifer.
4.      Hiperlipidemia (kolesterol total sering >10 mmol/l) sering menyertai.1

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut: 4

a)      Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
b)     Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin, dan torak eritrosit.
c)      Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.

d)     USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
e)      Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosis fokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.
f)       Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

VIII.       PENATALAKSANAAN

Tidak ada guideline dan penelitian terbaru tentang tata laksana sindrom nefrotik pada remaja. 3

Nutrisi dan Cairan
            Pasien harus membatasi intake natrium pada kisaran 3 gr per hari, dan mungkin butuh restriksi intake cairan (<1,5 liter per hari). 3

Diuretik
            Diuretik merupakan terapi medis utama, namun tidak ada bukti tentang rekomendasi pemilihan obat maupun dosisnya. Berdasarkan pendapat yang disepakati saat ini, diuresis ditargetkan pada penurunan berat badan 0,5-1 kg per hari untuk menghindari gagal ginjal akut atau gangguan keseimbangan elektrolit. Obat-obatan Loop diuretic seperti furosemid (Lasix) atau bumetanide saat ini paling banyak digunakan. Dosis besar (80-120 mg furosemid) seringkali dibutuhkan, dan obat-obatan ini secara tipikal harus diberikan secara intravena karena daya absorpsi yang kurang secara oral terhadap obat-obatan tersebut dapat menyebabkan edema intestinum. Kadar albumin serum yang rendah juga membatasi efektivitas obat-obat diuretic dan membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Diuretik thiazid, potassium-sparing diuretic, atau metolazone (Zaroxolyn) dapat berguna sebagai terapi adjuvant atau penyerta diuretik.3

ACE Inhibitors                                                                
Angitensin-converting enzyme (ACE) inhibitors telah diketahui dapat menurunkan proteinuria dan mengurangi risiko progresifitas yang mengarah ke penyakit ginjal pada pasien dengan sindrom nefrotik. Suatu penelitian menemukan bahwa tidak ada peningkatan respon ketika terapi kortikosteroid dikombinasikan dengan terapi ACE inhibitors. Dosis yang direkomendasikan pun masih belum ada, namun dosis enalapril (Vasotec) 2,5-20 mg per hari banyak digunakan. Pasien-pasien dengan sindrom nefrotik sebaiknya diterapi dengan ACE inhibitiors untuk mengurangi proteinuria yang terjadi dengan memengaruhi tekanan darah.3

Albumin
Albumin intravena telah diusulkan untuk menangani diuresis yang terjadi karena edema dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia. Namun, tidak ada bukti penelitian yang mengindikasikan keuntungan dari terapi dengan albumin, dan pada keadaan yang tidak diharapkan seperti hipertensi dan edema pulmonum, jelas membatasi terapi albumin.3

Kortikosteroid
            Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial dalam manajemen sindrom nefrotik pada orang dewasa. Terapi ini tidak memiliki keuntungan, namun direkomendasikan pada beberapa pasien yang tidak berespon terhadap terapi konservatif. Terapi pada anak dengan sindrom nefrotik berbeda, dan hal tersebut lebih memperlihatkan bahwa anak berespon baik terhadap terapi kortikosteroid. Secara klasik, penyakit kelainan minimal berespon lebih baik terhadap kortikosteroid dibanding glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan hal ini ditemukan pada anak dengan sindrom nefrotik primer.3
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.3,5

Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/metilprednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya. Sekitar 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.3,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.3,5

Lipid-lowering treatment
            Beberapa bukti penelitian memperlihatkan peningkatan risiko aterosklerosis atau infark miokard pada pasien SN, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar lipid serum. Namun, peranan terapi pada peningkatan lipid serum masih belum diketahui. Pemilihan untuk memulai terapi dengan penurun lipid pada pasien SN dapat digunakan jika tidak menimbulkan kerugian.3


IX. KOMPLIKASI
1.      Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi adalah infeksi gram negatif.5



2.      Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.5

3.      Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan. 5

4.      Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena. 5
5.      Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas. Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan. 5

X.    PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga lebih memiliki risiko gagal ginjal.
















DAFTAR PUSTAKA

1.      Hull RP., Goldsmith DJ., Nephrotic syndrome in adults. BMJ, 2008;336:1185-9.
2.      Handayani I., Rusli B., Hardjoeno, Profile of cholesterol and albumin concentration and urine sediment based on nephritic syndrome children. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 2007;13(2):49-52.
3.      Kodner C., Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management. American Family Physician, 2009;80(10):1129-1134.
4.      Davin JC.,Rutjes NW., Nephrotic syndrome in children: From bench to treatment. International Journal of Nephrology, 2011;1-6.

5.      Prodjosudjadi W., SindromNefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed VI. 2006;999-1003

Management of Haemmorhage in Major Trauma

Manajemen Perdarahan pada Trauma Mayor

C Gaunt FRCA RAMC
TWoolley FRCA RAMC



Trauma mayor merupakan penyebab kematian yang signifikan di seluruh dunia, terutama kejadian limajuta kematian setiap tahunnya. Sebagian besar kematian disebabkan oleh perdarahan, dengan perhitungan 80% kematian di ruang operasi dan 40% kematian dari seluruh trauma yang terjadi di Inggris.
Pengelolaan perdarahan mayor terdapat perubahan selama beberapa dekade terakhir, terutama berdasarkan bukti retrospektif.Pendekatan kontemporer menekankan kontrol cepat perdarahan, manajemen koagulopati awal, pemeliharaan perfusi yang memadai, dan meminimalkan respon inflamasi.
Perkembangan fase resusitasi awal dan pencegahan atau manajemen awal koagulopati dikombinasikan dengan pemahaman yang lebih baik mengenai tes diagnostik yang mengarah ke target intervensi untuk mengontrol perdarahan yang menyebabkan meningkatnya hasil yang lebih baik dan berkurangnya permintaan produk darah.

Mengapa Perdarahan Mayor dapat menyebabkan masalah?
Respon Fisiologis
Sederhananya, perdarahan yang tidak terkendali  dapat menyebabkan hipovolemia dan syok. Respon fisiologis dari kejadian tersebut diawali  takikardi dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik (SVR) untuk mempertahankan tekanan darah arteri (AP) meskipun curah jantung menurun. Setelah 20 – 30% volume darah menghilang, terjadi bradikardi ditambah dengan hilangnya resistensi vaskular sistemik yang menyebabkan menurunnya tekanan darah arteri.Kehilangan darah hingga melebihi 40% mengarah ke fase pra terminal yang meningkatkan respon simpatis dengan takikardi dan hipotensi, sehingga dapat terjadi perdarahan dengan tekanan darah arteri yang masih bagus.
Peningkatan tonus simpatis mengalihkan darah dari organ-organ non vital ke organ vital untuk mempertahankan perfusi, yang menyebabkan hipoperfusi dan pengangkutan oksigen yang tidak memadai ke sistem vaskular dan mikrosirkulasi pada organ non vital. Jika hipoperfusi pada mikrosirkulasi tidak ditangani maka akan terjadi peningkatan aktivasi endotel vaskular, menyebabkan peningkatan respon inflamasi. Unit mikrosirkulasi terdiri dari arteriol, kapiler, dan venula yang sangat rentan terjadi hipoksia.Pengangkutan oksigen bergantung pada aliran darah dan peningkatan tonus vasomotor pra kapiler baik oleh katekolamin endogen atau vasopressor maupun mikrosirkulasi yang berpotensi memperburuk respon inflamasi.

Trauma yang Menginduksi Koagulopati
Resusitasi biasa berkonsentrasi pada pemulihan volume darah dengan penggunaan cairan kristaloid yang berfungsi untuk meningkatkan curah jantung.Namun hal ini sering menyebabkan triad mematikan yaitu asidosis, hipotermia, dan koagulopati.Tercatat dalam satu serial bahwa 95% dari pasien trauma yang meninggal disebabkan oleh koagulopati. Resusitasi secara eksklusif dengan penggunaan kristaloid atau koloid sintetik sebenarnya, pasti akan menyebabkan dilusi faktor pembekuan dan hemoglobin pasien sendiri yang akhirnya menyebabkan terjadi koagulopati. Aktivasi pengenceran koagulasi akan menyebabkan konsumsi faktor pembekuan, terutama faktor V dan fibrinogen, yang mengarah ke koagulopati konsumtif. Hipotermia dan asidosis merusak kemampuan fungsional trombosit dan faktor pembekuan, terutama jika pH <7,1 dan suhu 338°C. Efek ini secara kolektif disebut trauma yang menginduksi koagulopati (TIC) dan dapat terjadi selama resusitasi.
Pada tahun 2003, Brohi dkk menemukan bahwa 24% dari pasien trauma di Inggris mengalami koagulopati ketika tiba di unit gawat darurat (UGD) dan insiden koagulopati meningkat seiring dengan keparahan cedera yang menyebabkan juga meningkatnya volume cairan resusitasi yang diberikan. Pasien yang tiba dengan kondisi koagulopati mengalami peningkatan kematian dibandingkan dengan pasien non koagulopati. Koagulopati ini disebut koagulopati trauma akut (KTA) dan mekanisme lain dari koagulopati yang masih dalam payung KTA.
Mekanisme KTA belum terbukti namun tampaknya hal ini berhubungan dengan hipoperfusi jaringan, menyebabkan up-regulasi endotelium pembuluh darah dan perubahan pada jalur koagulasi.Hal ini bertepatan dengan aktivasi koagulasi secara menyeluruh dengan konsumsi masif faktor pembekuan, faktor V dan fibrinogen, aktivasi jalur protein C, dan peningkatan fibrinolisis.



Respon Inflamasi pada Perdarahan
Hipoperfusi jaringan menginduksi karakteristik respon inflamasi yaitu cedera iskemik dan reperfusi.Berbagai mediator inflamasi, sitokin, dan oksidan dilepaskan dan dapat menyebabkan kerusakan organ sekunder terkait dengan kegagalan organ ganda dan kematian.Sindroma respon inflamasi sistemik (SIRS) memicu respon anti inflamasi kompensasi simultan (CARS), yang menyebabkan reprioritas fungsi selular dan penekanan imunitas adaptif yang disebut genomic storm.Luas dan durasi CARS dan SIRS terkait dengan tingkat dan durasi inflamasi awal. Pasien yang mengalami pemulihan ekspresi genom pada 2 – 3 hari akan mengalami pemulihan yang normal, sedangkan yang tidak, akan mengalami pemulihan yang lambat.
Beberapa model eksperimental telah melihat penelitian yang lalu dan respon mediator inflamasi setelah resusitasi, dan telah menyarankan bahwa meningkatnya oksigenasi jaringan mungkin memiliki efek menguntungkan pada respon inflamasi dan jalur koagulasi. Hal ini didukung oleh beberapa bukti klinis bahwa resusitasi dengan menggunakan transfusi darah dibandingkan dengan kristaloid akan mengurangi respon SIRS setelah kejadian trauma dan dapat menjaga integritas endotel.
Dengan demikian, KTA berimplikasi pada respon inflamasi yang diinduksi oleh endotel hipoksia sebagai pendorong terjadinya koagulopati dan kejadian SIRS setelah trauma. Hal ini masuk akal untuk mengasumsikan bahwa pemulihan cepat jaringan hipoksia dan aliran darah ke mikrosirkulasi akan menyebabkan penurunan kejadian SIRS, SARS, dan berpotensi meningkatkan kelangsungan hidup.

Bagaimana seharusnya caramelakukan resusitasi setelah terjadi syok hemoragik?
Damage Control Resucitation
Damage Control Resucitation (DCR) merupakan filosofi tim bedah, berkonsentrasi hanya pada pemulihan fisiologi pasien. Hal ini hanya dapat dicapai dengan resusitasi yang baik sebelum pasien mencapai rumah sakit dan koordinasi tim bedah untuk menghentikan perdarahan, resusitasi mikrosirkulasi dan mitigasi terhadap KTA.
DCR menggabungkan konsep resusitasi hemostatik (SDM) di mana whole blood secara efektif ditransfusikan ke pasien. Hal ini secara efektif menyebabkan rasio plasma beku (FFP): 1 sel darah merah (PRBC) sesuai protokol atau trombosit yang ditargetkan dan kriopresipitat. Bukti ini terbatas pada studi militer dan sipil retrospektif. Kebijakan perdarahan masif Pertahanan Medis Inggris (UK DMS) mendukung penggunaan FFP dan PRBC dalam rasio 1: 1, bersama-sama dengan pemberian komponen darah lainnya dan Asam traneksamat (TXA). Prakteknya  ditunjukkan pada Gambar 1.

Komplikasi Transfusi
Transfusi darah pasca trauma berhubungan dengan efek samping termasuk peningkatan mortalitas, infeksi pasca operasi, MOF, dan sepsis. FFP dan trombosit terlibat dalam peningkatan  sindroma gangguan pernapasan dewasa meskipun pada pemberian awal justru sebaliknya. Hal tersebut sangat penting untuk memastikan transfusi darah dalam jumlah yang tepat.

Terapi Berbasis Tujuan
Klinisi harus berpikir secepatnya mengenai transfusi setiap produk darah selama resusitasi karena administrasi produk darah dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan rasio protokol resusitasi yang masih belum jelas.Waktu pergantian protokol menjadi terapi target bergantung pada keadaan klinis, jumlah personil yang berpengalaman, dan informasi yang tersedia untuk klinisi.
Tes pembekuan harus dilakukan untuk memantau terapi.Namun tes laboratorium biasa memakan waktu terlalu lama.Perhitungan jumlah trombosit cepat dikerjakan selama sistem laboratorium di rumah sakit tertentu telah menetapkan untuk melakukan analisa segera. Tes analisis gas darah memberikan hasil yang cepat dan informasi mengenai defisit dasar dan hemoglobin tetapi tidak memberikan informasi mengenai status koagulasi.
Penggunaan tromboelastometri (TEG atau ROTEM) telah meningkat selama operasi dan kejadian trauma. Hal ini memberikan interpretasi dinamis  mengenai pembekuan whole blood dan memantau inisiasi pembekuan, fibrinolisis, dan kontribusi relatif fibrinogen fungsional dan trombosit. Namun penggunaannya pada pasien trauma belum divalidasi dan manfaatnya mendukung transfusi dan mendeteksi fibrinolisis pada pasien trauma masih belum bisa dijelaskan secara rinci. Pandangan ini tidak disetujui di beberapa Negara Eropa, dimana ROTEM digunakan untuk terapi target koagulasi dengan fibrinogen dan sel darah konsentrat yang dikemas telah menyebabkan penurunan penggunaan produk darah tanpa angka kematian yang dilaporkan. Schoch dkk menemukan bahwa penggunaan ROTEM sebagai panduan terapi dengan fibrinogen konsentrat sebagai lini pertama terapi hemostatik selain penggunaan protrombin kompleks konsentrat, tingkat kelangsungan hidup pasien diamati (14% vs 27,8%). Jika klinisi efektif mengobati TIC, maka pengawasan status koagulasi harus dilakukan.Dengan tidak adanya tes POC, maka mekanisme yang mempercepat pengujian dan penyebaran tes laboratorium harus terjadi, terutama di pusat-pusat trauma.

Praktikalitas Transfusi
Memastikan transfusi darah yang aman pada situasi stress trauma merupakan hal yang sulit. Pasien yang tepat harus mendapatkan produk darah yang juga tepat.Kebijakan lokal mengenai teknik transfusi yang lebih baik harus ditaati. Setengah dari efek samping yang dilaporkan pada tahun 2011 di database Inggris untuk melacak terkait insiden transfusi darah, bahwa bahaya serius transfusi adalah karena kesalahan manusia.
Di rumah sakit Camp Bastion, Afghanistan, terdapat dua anggota tim trauma yang dialokasikan untuk menyiapkan transfusi pada pusat trauma. Mereka khusus bertanggungjawab menyiapkan transfusi selama operasi yang membutuhkan resusitasi. Hal ini mungkin tidak praktis jika dibandingkan dengan rumah sakit NHS (National Health Service) dimana staf medis lebih sedikit; Namun keuntungannya, anggota tim yang menyediakan transfusi bertanggungjawab dalam memeriksa, mengelola, dan mencatat semua produk yang ditransfusikan berdasarkan instruksi dokter untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi, mereka tidak diganggu dengan tugas-tugas lainnya karena satu-satunya pekerjaan mereka adalah memberi transfusi pada pasien. Karena mereka tahu persis apa yang ditransfusikan, maka mereka bisa menggunakan daftar ceklist mereka untuk meminta dokter untuk melakukan tes darah, meresepkan trombosit dan kriopresipitat, dan memantau protokol transfusi.
Cairan diberikan dalam 250 ml bolus setelah diarahkan oleh ahli anestesi dan diberikan melalui perangkat infus. Ahli anestesi akan mengarahkan perawat seperti apa produk darah yang diberikan, berdasarkan hasil laboratorium dan ROTEM, dan mengatur parameter lain (contohnya tekanan darah sistolik) dimana perawat akan meminta instruksi lebih lanjut. Perawat juga dapat meminta dokter anestesi untuk menyediakan produk darah apabila produk yang tersedia hampir habis.


Penatalaksanaan Sistemik
Administrasi darah yang disimpan dalam jumlah besar dan diadministrasikan dalam waktu singkat akan menyebabkan gangguan metabolik serius, yang paling signifikan ialah hiperkalemia dan hipokalemia. Hiperkalemia harus dimonitor menggunakan ABG dan diobati dengan insulin dan dekstrosa.Hipokalsemia terjadi akibat pemecahan kalsium oleh sitrat pada darah yang disimpan. Kadar kalsium harus dipertahankan di atas 1,0 mmol liter dengan mengadministrasikan kalsium secara intravena menggunakan kalsium klorida 10% atau kalsium glukonat. Pada tahap awal resusitasi, dibutuhkan pemantauan kadar potassium dan kalsium sesering mungkin setiap 15 menit tergantung pada tingkat administrasi darah yang diberikan. Buffer harus dihindari sebisa mungkin karena ia dapat menutupi defisit basa atau laktat sebagai indikator resusitasi yang adekuat.
Penggunaan asam traneksamat telah meningkat selama bebeapa tahun terakhir menyusul digunakannya trial CRASH-2.Ini adalah salah satu dari pembuktian trial pada trauma dan randomisasi pada lebih dari 20.000 pasien.CRASH-2 melaporkan penurunan angka kematian secara menyeluruh, terutama jika asam traneksamat diberikan lebih awal. Catatan follow up menunjukkan terjadi peningkatan kematian jika asam traneksamat diberikan setelah tiga jam setelah terjadinya cedera. Data militer pada trial 10 MATTERS mendukung penggunaan asam traneksamat untuk menurunkan angka kematian, terutama setelah 24 jam.Alasan mengapa efek asam traneksamat lambat terjadi masih belum jelas, namun beberapa spekulasi memperkirakan bahwa asam traneksamat bukan hanya bekerja pada stadium perdarahan akut atau fibrinolitik, tetapi juga memiliki efek antiinflamasi yang mengimbangi efek plasmin pada endotelium dan sel darah putih. Perlu dicatat bahwa asam traneksamat jarang digunakan di Amerika Utara karena skeptisisme atas uji coba yang dilakukan di luar Amerika Utara dan kekhawatiran akan efek prothrombinnya. Selanjutnya analisis CRASH-2 menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan kejadian thrombosis, dan faktanya mungkin telah terjadi penurunan kejadian thrombosis arteri.Dalam pandangan penulis, asam traneksamat seharusnya diberikan pada pasien trauma perdarahan berdasarkan pedoman CRASH-2. Hal ini akan dibahas secara mendalam di artikel lain yang akan diterbitkan di kemudian hari.
Penggunaan rekombinan faktor VII (rFVIIa) masih kontroversial karena terdapat risiko thrombosis dan tidak dianjurkan digunakan pada pasien trauma.Sebuah penelitian kontrol randomisasi trial meneliti khasian dari rFVIIa dan menemukan bahwa pengobatan dengan rFVIIa pada trauma tumpul menyebabkan penurunan kebutuhan transfusi dalam jumlah besar pada pasien yang bertahan selama lebih dari 48 jam, dan mengurangi angka kejadian ARDS. Namun review dari Cochrane baru-baru ini menyimpulkan bahwa penggunaan rFVIIa sebagai obat hemostatik masih belum terbukti. rVIIa bekerja meningkatkan pembentukan thrombin dari platelet yang teraktivasi, namun dengan tekanan darah, tampaknya terdapat faktor pembekuan darah yang beredar dalam darah dan pembentukan thrombin cukup sufisien. Penggunaan rVIIa tidak dianjurkan jika sistem transfusi di rumah sakit telah berjalan dengan baik.

Strategi Penatalaksanaan
Manajemen Pra Rumah Sakit
Manajemen pra rumah sakit pada pasien perdarahan seharusnya berkonsentrasi untuk menghentikan perdarahan dan evakuasi cepat ke rumah sakit trauma dimana penatalaksaan definitive dapat dilakukan.Pada situasi terbatas, penyedia harus mengikuti rekomendasi ATLS secara berurutan (ABC): manajemen jalan napas (airway), pernapasan (breathing), sirkulasi (circulation); namun militant dan organisasi pre rumah sakit lainnya hanya mengadopsi C. Pendekatan ABC dimana bencana perdarahan menjadi prioritas disbanding manajemen jalan napas. Pertama, responden harus mengompresi segera dan melakukan elevasi luka eksternal untuk mengurangi volume yang hilang. Berbagai agen hemostatik topikalyang tersedia termasuk agen mukoadhesif seperti Chitosan (Celox), dan faktor konsentrat seperti zeolite (QuikClot) yang dapat diberikan sebagai perban siap pakai, kasa, swab, atau butiran, Hal ini dapat berguna untuk perdarahan pada lipatan paha atau ketiak. Torniket digunakan pada perdarahan ekstremitas yang tidak terkendali.Imobilisasi awal patah tulang panjang dan splint panggul juga dapat mengurangi kehilangan darah.Asam traneksamat harus diberikan jika perdarahan tidak berhenti.Beberapa layanan pra rumah sakit saat ini dapat memulai resusitasi darah sebelum pasien tiba di rumah sakit, termasuk Tim Medis Darurat (MERT) di Afganistan dan Layanan Helikopter Darurat London (HEMS), tapi layanan tersebut tidak tersebar di semua layanan pra rumah sakit.
Tekanan darah arteri sebagai penanda aliran darah bukanlah suatu titik penting setelah terjadi trauma karena tonus simpatis dan efek kompensasi yang terjadi setelah kehilangan volume cairan.Namun dalam lingkungan layanan pra rumah sakit, hal tersebut masih berguna untuk melakukan resusitasi hingga denyut radial teraba, sehingga membatasi kenaikan pada tekanan darah arteri dan menyebabkan perdarahan yang lebih lanjut dan meminimalkan potensi hipoperfusi berkepanjangan dan hipoperfusi ireversibel pada organ vital. Selama fase pra rumah sakit yang panjang (lebih dari satu jam), militer Inggris telah mengadopsi konsep baru yaitu resusitasi hybrid dimana tekan darah akan normal setelah 60 menit menggunakan cairan apapun yang tersedia (biasanya kristaloid) untuk membatasi hipoperfusi yang sedang terjadi.

Manajemen Dalam Rumah Sakit
Manajemen dalam Rumah Sakit harus merupakan kelanjutan yang baik dari manajemen pra rumah sakit. C, pada pradigma ABC harus diikuti dengan aktivitas bersamaan oleh tim terlatih. Torniket dan perban kompresi harus diperiksa, jika memungkinkan, dan diberikan pertimbangan untuk diganti dengan torniket pneumatik.  Bukti syok atau perdarahan yang tidak bisa dikompresi harus dipicu dengan tanggapan langsung bedah atau radiologi intervensi dengan dan tanpa CT Scan dalam perjalanan ke ruang operasi. Responden yang mendapat terapi cairan harus diobati dengan segera dioperasi dan transfer cepat harus dilakukan tanpa perlu pemantauan invasif atau sebelum survei sekunder selesai.
Administrasi darah harus dipandu dengan hasil tes hematologik.Namun selama situasi pasien mengalami sakit yang parah, administrasi produk darah harus diikuti dengan mengikuti MHP (Major Haemorrhage Protocol) yang belum ditentukan.Adalah sangat penting untuk menargetkan terapi sesegera mungkin dan menentukan MHP awal untuk membatasi transfusi produk darah yang tidak jelas.
Tekanan darah arteri sebagai target harus terus diperhatikan karena bisa saja terjadi hipovolemia dengan tekanan darah arteri yang normal ketika terjadi mekanisme kompensatorik. Hal ini terutama berlaku pada pasien yang lebih muda. Marker hipoperfusi seperti defisit basa atau laktat seharusnya menjadi pemandu terapi; namun ia memiliki keterbatasan. Dengan tidak adanya cedera kepala, vasopressor seharusnya digunakan dengan hati-hati pada pasien trauma karena meningkatkan tonus vasomotor yang akan menyebabkan eksaserbasi berkelanjutan dengan hipoksia endotel di mikrosirkulasi. Ada beberapa bukti bahwa penggunaan vasopressor pada pasien trauma mengarah ke hasil buruk.Adanya cedera kepala mempersulit gambaran ini dan pemeliharaan tekanan perfusi serebral harus diprioritaskan dibanding menghindari penggunaan vasopressor.
Militer baru-baru ini memperkenalkan adaptasi WHO yang terdiri dari komando Huddle (dilakukan di UGD), Snap Brief, dan laporan situasi tim manajemen pasien trauma yang terkoordinasi. Selama komando Huddle, keputusan dibuat untuk operasi pengendalian kerusakan langsung, kontrol perdarahan, pencitraan, atau manajemen lingkungan. Saat di ruang operasi, Snap Brief dilakukan untuk mengkomunikasikan rencana bedah, produk darah yang diadministrasikan termasuk tingkatannya, dan adanya koagulopati. Dalam interval  10 menit, perbaruan dikomunikasikan, produk darah diberikan, infus, status pembekuan darah dan suhu dengan ROTEM, dan hasil tes gas darah dan kemajuan bedah.

Kesimpulan
Resusitasi setelah terjadi syok hemoragik harus menghadapi efek samping akibat trauma yang terjadi, efek samping bedah, dan efek samping pengobatan.Merupakan tanggung jawab klinisi untuk memberikan terapi secepat mungkin untuk menghindari kerusakan akibat iatrogenik. Terapi harus ditargetkan untuk meresusitasi mikrosirkulasi untuk mengurangi respon inflamasi ketika pada waktu yang bersamaan harus menghindari triad: hipotermia, koagulopati dan asidosis. Penggunaan yang berlebihan pada produk darah justru bermanfaat, tetapi cara yang tepat dalam penggunaannya harus berfokus dengan banyak penelitian dan diskusi. Kebijakan lokal yang dilakukan oleh tim yang terlatih memiliki dampak keberhasilan resusitasi dibandingkan mengkhawatirkan rasio yang benar.