Kamis, 30 April 2015

RETINOPATI DIABETIK


I. Pendahuluan
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa, dimana pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih  mudah mengalami kebuataan dibanding nondiabetes. Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok  penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Diabetes mellitus dapat menyebabkan perubahan pada sebagian besar jaringan okuler. Perubahan ini meliputi kelainan pada kornea, glaukoma, palsi otot ekstraokuler, neuropati saraf optik dan retinopati. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur okuler ini yang paling sering menyebabkan komplikasi kebutaan yaitu retinopati diabetik.Hampir 100% pasien diabetes tipe 1 dan lebih dari 60% pasien diabetes tipe 2 berkembang menjadi retinopati diabetik selama dua decade pertama dari diabetes. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah atau menunda onset terjadinya kompilkasi kehilangan penglihatan pada pasien retinopati diabetik. Kontrol gula darah dan tekanan darah sebagaimana yang ditetapkan oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan Early Treatment Diabetik Retinopathy Study (ETDRS) dapat mencegah insidens maupun progresifitas dari retinopati diabetik.(1,3)
II.   Epidemiologi
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik degeneratif tersering dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan keempat negara yang jumlah penyandang DM terbanyak. Jumlah ini akan mencapai 21,3 juta pada tahun 2030.(1)
Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya seseorang menyandang DM. Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah ketergantungan insulin pada DM Tipe II, nefropati, dan hipertensi.(1)

III. Definisi
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada penderita diabetes melitus. Retinopati ini tidak disebabkan oleh proses radang. Retinopati akibat diabetes melitus lama berupa aneurisma, melebarnya vena, pedarahan dan eksudat lemak. Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan membrane basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit. 1

IV.  Anatomi
Bola mata adalah jaringan dengan struktur padat kenyal tekanan tertentu di dalamnya dalam mempertahankan bentuk bola mata. Bola mata terbagi atas tiga bagian, yakni lapisan luar (pars fibrosa), lapisan tengah (pars vaskulosa), dan lapisan dalam (pars nervosa). Retina merupakan pars nervosa dari bola mata berperan dalam fungsi penglihatan.6 Volume orbita biasa kira-kira 30 ml dan bola mata hanya menempati sekitar seperlima bagian rongga. 4
Gambar 1. Anatomi Mata 2
Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.2 Jaringan retina meluas dari diskus optik sampai ke ora serrata. Secara umum, retina dibagi atas dua bagian, polus posterior dan retina perifer yang dipisahkan oleh retina equator.6
a.      Anatomi Makroskopik Retina
Polus posterior merupakan area dari posterior retina ke equator retina. Polus posterior retina terdiri dari dua area, yakni diskus optik dan makula lutea. Polus posterior dari retina dapat dilihat melalui pemeriksaan oftalmoskopik. 6
§  Diskus Optik (Optic Disc)
Warna merah muda, daerah membentuk lingkaran dengan diameter 1,5 mm. Pada diskus optik, terdapat seluruh lapisan retina kecuali serabut sarah, yang keluar melalui lamina cribrosa masuk ke dalam nervus optik. Suatu lekukan terlihat pada diskus yang disebut cup fisiologis. Arteri sentral retina dan vena tampak melalui pusat dari cup ini.6
§  Makula Lutea
Disebut juga bintik kuning (yellow spot), warna lebih merah dari sekeliling fundus dan berada pada polus posterior temporal diskus optik dengan diameter kira-kira 5,5 mm. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning-xantofil. Fovea sentralis adalah lekukan pada pusat bagian dari makula dengan diameter kira-kira 1,5 mm dan merupakan daerah paling sensitif dari retina. Pada pusat fovea, tampak lebih terang yang disebut foveola (diameter 0,35 mm) yang berada kira-kira 3 mm dari batas temporal diskus dan kira-kira 1 mm sepanjang meridian horizontal. Daerah kira-kira 0,8 mm dari diameter foveola tidak ditemukan kapiler retina dan disebut sebagai zona avaskular foveal.7
Kerapatan sel kerucut meningkat di pusat makula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan penglihatan warna yang baik, keduanya memerlukan pencahyaan ruang yang terang (penglihatan fotopik) dan paling baik di foveola; sementara retina sisanya terutama digunakan untuk penglihatan gerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik). Ruang ekstraseluler retina yang  normalnya kosong cenderung paling besar di makula. Penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan ekstrasel secara khusus dapat mengakibatkan penebalan daerah ini (edema makula).4,5
Retina perifer merupakan daerah yang mengelilingi secara posterior dari ekuatur retina dan anterior dari ora serrata. Retina perifer dapat dilihat dengan jelas mealui indirect opthalmoscopy.7

§ Ora Serrata
Adalah batas perifer ujung dari retina, daerah tersebut melekat pada vitreus dan koroid.

 
                                      




                                          A                                                B
Gambar 2. A. Gambaran Fundukopi. B. Fotografi funduskopi7

Anatomi Mikroskopik Retina
Retina terdiri dari 3 jenis sel dan bersinap dalam sepuluh lapisan retina (dari sisi luarnya): 7










Gambar 3. Lapisan Retina 4

Lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah (1) membran limitan interna, (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus (3) lapisan sel ganglion (4) lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar (6) lapisan pleksiform luar, (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor, (8) membrane limitan eksterna, (9) lapisan fotoreseptor batang dan kerucut (10) epitel pigmen retina.2

Vaskularisasi Retina
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga dalam retina. Fovea seluruhnya diperdarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel pembuluh darah koroid berlubang-lubang. Sawar darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.5

V.                FAKTOR RISIKO
Adapun faktor risiko terjadinya retinopati diabetik, yakni: 7
1.        Riwayat diabetes yang lama adalah faktor yang paling penting. Sekitar 50% pasien menderita retinopati diabetik memiliki penyakit DM lebih dari 10 tahun, risiko menjadi 70% setelah 20 tahun, dan risiko 90 % setelah 30 tahun dari onset penyakit diabetes mellitus.
2.        Jenis Kelamin, insiden lebih sering pada wanita daripada laki-laki (4:3).
3.        Kontrol glukosa darah yang buruk, berhubungan dengan perkembangan dan perburukan retinopati diabetik.
4.        Hipertensi yang tidak terkontrol, biasanya dikaitkan dengan bertambah beratnya retinopati diabetik dan perkembangan PDR pada DM tipe I dan II. Studi juga menunjukkan bahwa tekanan darah diastolik yang tinggi pada usia muda dapat memperburuk retinopati diabetik.
5.        Kehamilan, biasanya dihubungkan dengan bertambah progresifnya retinopati diabetik, meliputi kontrol diabetes prakehamilan yang buruk, kontrol ketat yang terlalu cepat pada masa awal kehamilan, dan perkembangan dari preeklamsia serta ketidakseimbangan cairan. Sehinnga, pemeriksaan funduskopi bersifat esensial selama kehamilan. Perubahan hormonal pada kehamilan dan kebutuhan pengontrolan glukosa yang ketat juga memiliki asosiasi yang kuat dengan perburukan derajat retinopati.
6.        Faktor risiko yang lain meliputi merokok, obesitas, anemia dan hiperlipidemia.


VI.     ETIOPATOGENESIS
Retinopati diabetik merupakan mikroangiopati okuler akibat gangguan metabolik yang mempengaruhi tiga proses biokimiawi yang berkaitan dengan hiperglikemia yaitu jalur poliol, glikasi non-enzimatik dan protein kinase C.(1)
§ Jalur Poliol
Hiperglikemik yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu suatu senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel. Senyawa poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel.1
§  Glikasi Nonenzimatik
Glikasi non enzimatik terhadap protein dan asam deoksiribonukleat (DNA) yang terjadi selama hiperglikemia dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel. 1
§  Protein Kinase C
Protein Kinase C diketahui memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrane basalis dan proliferasi sel vaskular.Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa.1

VII.    PATOFISIOLOGI
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu daerah yang disebut fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada membrana sel yang terletak diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran basalis berfungsi sebagai barrier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel dari membran basalis membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras flouresensi yang digunakan untuk diagnosis penyakit kapiler retina.(1)
Perubahan histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari penebalan membrane basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel, dimana pada keadaan lanjut, perbandingan antara sel endotel dan sel perisit mencapai 10:1. Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan lima proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler yaitu (1) pembentukan mikroaneurisma, (2) peningkatan permeabilitas pembuluh darah, (3) penyumbatan pembuluh darah, (4) proliferasi pembuluh darah baru (neovascular) dan jaringan fibrosa di retina, (5) kontraksi dari jaringan fibrous kapiler dan jaringan vitreus. Penyumbatan dan hilangnya perfusi menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah.1

Gambar 5. Gambaran skematis patofisiologi terjadinya retinopati diabetik7

Tabel 1. Hipotesis Mengenai Mekanisme Retinopati Diabetik1
Mekanisme
Cara Kerja
Terapi
Aldose reduktase
Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan kerusakan sel.
Aldose reduktase inhibitor
Inflamasi
Meningkatkan perlekatan leukosit pada endotel kapiler, hipoksia, kebocoran, edema makula.
Aspirin
Protein Kinase C
Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh DAG pada hiperglikemia.
Inhibitor terhadap PKC -Isoform
Nitrit Oxide Synthase
Meningkatkan produksi radikal bebas, meningkatkan VEGF.
Amioguanidin
Menghambat ekspresi gen
Menyebabkan hambatan terhadap jalur metabolisme sel.
Belum ada
Apoptosis sel perisit dan sel endotel kapiler retina
Penurunan aliran darah ke retina, meningkatkan hipoksia.
Belum ada
VEGF
Meningkat pada hipoksia retina, menimbulkan kebocoran , edema makula, neovaskular.
Fotokoagulasi panretinal
PEDF
Menghambat neovaskularisasi, menurun pada hiperglikemia.
Induksi produksi PEDF oleh gen PEDF
GH dan IGF-I
Merangsang neovaskularisasi.
Hipofisektomi, GH-receptor blocker, ocreotide
PKC= protein kinase C; VEGF= vascular endothel growth factor; DAG= diacylglycerol; ROS= reactive oxygen species; AGE= advanced glycation end-product; PEDF= pigment-epithelium-derived factor; GF= growth factor; IGF-I= insulin-like growth factor I.1

VIII.  DIAGNOSIS
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Namun dalam klinik, pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan untuk skrining.(3)
Diabetik retinopati memiliki banyak klasifikasi. Adapun salah satu klasifikasi tersebut : 7
a.         Non-proliferatif diabetic retinopathy (NPDR)
b.        Proliferatif diabetic retinopathy (PDR)
c.         Diabetic maculopathy
d.        Advanced diabetic eye disease (ADED)

Tabel 2. Klasifikasi Retinopati diabetik berdasarkan The Early Treatment of Diabetik Retinopathy Study (ETDRS) 8


Nonproliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)
Retinopati diabetik pada tahap dini disebut NPDR dan ditandai dengan abnormalitas dari pembuluh darah berupa mikroaneurisma, perdarahan intraretinal, dan cotton wool spots. Peningkatan permeabilitas vaskular retina yang terjadi pada tahap ini atau selanjutnya pada retinopati akan mengakibatkan penipisan retina (edema) dan penimbunan lemak (hard exudate).
Tabel 3. Klasifikasi NPDR berdasarkan The Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) 7
Retinopati Diabetik Non-Proliferatif
1.
Mild NPDR : terdapat  1  tanda berupa mikroaneurisma, perdarahan intraretina. Bisa terdapat hard exudate atau soft exudate.
2.
Moderate NPDR : Moderat mikroaneurisma, perdarahan intraretina.  IRMA ringan. Hard exudate, soft exudate mungkin ada.
3.
Severe NPDR (4-2-1): terdapat  1 salah satu tanda diantaranya: perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran  retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran.
4.
Very severe NPDR : ditemukan ≥ 2 tanda pada retinopati non proliferatif berat.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan :(8)
§  Mikroaneurisma pada daerah makula (lesi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan dini)
§  Perdarahan retina (dot dan blot haemorrhages) dan perdarahan superfisial (flame-shaped)
§  Hard exudates, berwarna kuning keputihan & mengkilat seperti gambaran menggumpal atau sirsinar. Umumnya terlihat pada daerah makula.
§  Edema retina, ditandai dengan retina yang tipis
§  Cotton-wool spots (jika >8, risiko tinggi menjadi PDR)
§  Abnormalitas vena, seperti gambaran manik-manik, menyimpul, dan dilatasi.
§  Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
§  Dark-blot haemorrhages, menandakan perdarahan akibat infark retina.





Tabel 4. Gambaran pemeriksaan funduskopi pada non proliferatif retinopati3
Diabetik retinopati  non proliferatif

Retinopati proliferatif
Komplikasi mata yang paling parah pada diabetes mellitus adalah retinopati diabetik proliferatif. Iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan pembuluh-pembuluh halus baru yang menyebaban kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar. Retinopati diabetik proliferatif awal ditandai dengan kehadiran pembuluh-pembuluh darah baru pada diskus optikus (NVD) atau di bagian retina manapun (NVE) 4
Menurut Early Treatment Diabetik Retinopathy Study (EDTRS) retinopati diabetik proliferatif dapat ditegakkan bila : 1
1.   Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi) : bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup <1/4 dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina
2.   Retinopati proliferatif risiko tinggi, apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor risiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru di mana saja di retina, b) ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikud, c) ditemukan pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mecakup >1/4 daerah diskus, d) perdarahan vitreus.

Tabel 5. Gambaran pemeriksaan funduskopi pada proliferatif retinopati 3
Diabetik retinopati proliferatif

Clinically significant macular edema (CSME)
CSME terjadi akibat perubahan mikrovaskular akibat diabetes mellitus. Penebalan pada basement membrane dan penurunan jumlah perisit sehingga meningkatkan permeabilitas vascular yang menyebabkan plasma leakage yang selanjutnya menyebabkan edema retina. 10
Clinically significant macular edema (CSME) berdasarkan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) memiliki gambaran sebagai berikut: 8
·           Tipisnya retina atau tidak lebih dari 500 μm dari sentral makula kira-kira ½ diameter diskus optik
·           Terdapat hard exudate atau tidak lebih dari 500 μm dari sentral makula, jika berhubungan dengan tipisnya retina yang berdekatan (bukan merupakan sisa hard exudate setelah hilangnya retina yang menipis)
·           Suatu daerah atau daerah penipisan retina pada satu daerah diskus atau lebih besar, bagian lain dimana tidak lebih dari satu diameter diskus.
          Gambar 6. Clinical Significant Macular Edema (CSME)

VI. TERAPI 4,7,9
Prinsip utama  penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan. Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif menjadi proliferatif.
Skrining Retinopati Diabetik
Untuk mencegah gangguan penglihatan akibat retinopati diabetik, skrining dan follow up merupakan langkah intervensi yang penting. Rekomendasi untuk dilakukannya pemeriksaan funduskopi yang periodik adalah : 7
                      ·        Setiap tahun.
                      ·        Setiap 6 bulan pada moderate NPDR
                      ·        Setiap 3 bulan, pada severe NPDR
                      ·        Setiap 2 bulan, pada PDR risiko rendah

Kontrol Faktor Risiko Sistemik
Hal ini akan mempengaruh prognosis dan efek dari terapi laser.
                    ·       Kontrol Gula Darah
                    ·       Kontrol Tekanan Darah
                    ·       Kontrol Hiperlipidemia

Fotokoagulasi
Pembedahan fotokoagulasi laser merupakan teknik standar pada penatalaksanaan retinopati diabetik. Umumnya, hal ini dianjurkan pada pasien dengan diabetik retinopati high-risk, CSME, atau neovaskularisasi pada sudut ruang anterior. Pasien dengan CSME seharusnya dilakukan fotokoagulasi laser fokal, khususnya jika pusat dari makula terpengaruh atau jika retina menipis / hard exudate yang sangat berdekatan dengan makula.7
Teknik fotokoagulasi laser dapat diklasifikasikan, yakni panretinal, fokal, atau grid. Fotokoagulasi panretina, disebut juga fotokoagulasi scatter, digunakan pada penanganan RPD dan secara tidak langsung pada penanganan neovaskularisasi pada nervus optik, permukaan retina, atau sudut ruang anterior dengan cara laser untuk menghanguskan daerah perifer fundus. Hal tersebut dapat dilakukan lebih dari satu kali. Fotokoagulasi fokal dan grid digunakan pada penatalaksanaan diabetic macular edema. Fotokoagulasi fokal menggunakan cahaya, membakar ukuran kecil pada kebocoran mikroaneurisma di makula (menyerupai fotokoagulasi panretina tapi efek terbakar yang lebih kecil) ke daerah timbulnya edema makula dari kebocoran kapiler difusi atau tampak nonperfusi pada angiografi fluoresensi. 
Tabel 6. Jenis-jenis Fotokoagulasi 7
Teknik Fotokoagulasi
Gambar 7. Teknik Scatter
Indikasi :
·   Retinopati diabetik proliferatif dengan high risk
·   Neovaskularisasi pada iris
·   Pasien yang jarang mengontrol retinopatinya
·   Sebelum operasi katarak/ capsulotomi
·   Gangguan ginjal
·   Ibu hamil
Gambar 8. Teknik fokal fotokoagulasi
Indikasi :
 ·   Edema makula

Ditujukan pada mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular di tengah cincin hard exudates yang terletak 500-3000 µm dari tengah fovea.
Gambar 9. Grid Fotokoagulasi
Indikasi :
 ·   Edema makula

Penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema yang difus.

Dengan merangsang regresi pembuluh-pembuluh baru, fotokoagulasi laser pan-retina (PRP) menurunkan insidens gangguan penglihatan berat akibat retinopati diabetik proliferatif hingga 50 %. Obat-obatan anti VEGF tampak menjanjikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi insidens perdarahan retina kambuhan pasca operasi.2
IX.        DIAGNOSIS BANDING
Ocular ischemic syndrome : dapat terjadi unilaeral. Arteri retina mengecil, perdarahan retina iskemik khas pada pertengahan retina perifer (mid-peripheral).
   
A                                                            B
Gambar 10. A. Central Retinal Artry Oclusion (CRAO) dengan edema retina akibat iskemia. B. CRAO dengan cherry-red spot di fovea
Hypertensive retinopathy : perdarahan retina superfisial dan flame-shaped, khususnya pada polus posterior. Hal ini tergantung pada beratnya hipertensi, soft exudate dan papil edema dapat terlihat.
   
                                A                                                    B
Gambar 11. A. Retinopati Hipertensi Derajat II. B. Retinopati Hipertensi derajat 4 dengan edema papil dan makula berbentuk bintang
X.           KOMPLIKASI 1,4,8
Rubeosis Iridis
Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik. Komplikasi ini sering terjadi pada pasien PDR, dan jika memberat dapat menyebabkan glaukoma neovaskular. Rubeosis iridis umumnya terjadi apabila terdapat iskemi retina yang berat atau ablasio retina setelah vitrektomi pars plana yang tidak berhasil.
Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris (rubeosis iridis). Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat tekanan intra okular meningkat dan keadaan sudut masih terbuka.






DAFTAR PUSTAKA
2.      Netter FH Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology, 2002, Comtan: U.S.A. P.  82
3.      Olver D, Cassijy L. Ophtalomology at a Glance. Blackwell Science. 2005. P 86-94
4.      Fletcher EC, Chong NV. Retina. In: Susanto D, editor. Vaughan & Asbury: Oftalmologi Umum. 17 ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 185-8.
5.      Riordan-Eva P. Anatomi & Embriologi Mata. In: Susanto D, editor. Vaughan & Asbury: Oftalmologi Umum. 17 ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 12-4.
6.      Khurana AK. Anatomy and Development of Eye. Comprehensive Opthalmology. Empat ed. New Delhi: New Age International (P) Limited; 2007. p. 3-4.
8.      Kanski J, Bowling Brad. Diabeti Retinopathy In: Clinical Ophtalmology A Systemic Approach. 7th edition. 2011.
9.      Khaw PT, Shah P, Elkington AR. General medical disorders and the eye.  ABC of Eyes. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2004. p. 69-70.

10.  Shin E S, Sorenson Christine, Sheibani Nader. Diabetes and Retinal Vascular Dysfunction. Journal of Ophtalmic and Vision Research 2014; Vol. 9, No.3