BAB I
PENDAHULUAN
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit
yang belum diketahui penyebabnya yang dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul
oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun
sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu.(1,2)
Insiden tertinggi pada usia antara 15 – 40 tahun. Wanita lebih sering
terkena dibandingkan pria dengan perbandingan 1.5 : 1. Kekambuhan pada penyakit ini tidak diketahui, hanya
sekitar 1-3% kasus yang terjadi. Keterkaitan Human Herpes Virus (HHV) enam dan
tujuh sebagai penyebab penyakit ini masih dalam kontroversi.(3,4,5)
Istilah Pitiriasis Rosea pertama kali dideskripsikan
oleh Robert Willan pada tahun 1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada
tahun 1860, Gilbert memberi nama Pitiriasis Rosea yang berarti skuama berwarna
merah muda ( rosea ).
Pitiriasis Rosea biasa didahului dengan gejala prodromal (lemas,
mual, tidak nafsu makan, demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe).
Setelah itu muncul gatal dan lesi di kulit. Banyak penyakit yang
memberikan gambaran seperti Pitiriasis Rosea seperti dermatitis numularis,
sifilis sekunder, dan sebagainya (6,7)
Gejala
klinis dimulai dari lesi inisial yang berupa “herald patch”, kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil. Umumnya herald patch ini terdapat di lengan atas, badan atau leher, bias
juga pada wajah, kepala atau penis.(8)
Pitiriasis Rosea merupakan penyakit yang
dapat sembuh sendiri, oleh karena itu, pengobatan yang diberikan adalah
pengobatan suportif. Obat yang diberikan dapat berupa kortikosteroid,
antivirus, dan obat topikal untuk mengurangi pruritus.(6)
BAB II
PITIRIASIS ROSEA
II.1. DEFINISI
Pitiriasis rosea ialah penyakit akut,
kelainan kulit berupa timbulnya papuloskuamosa yang dapat hilang dengan
sendirinya, umumnnya menyerang anak-anak dan dewasa muda yang sehat, walaupun
sebenarnya dapat ditemukan pada semua umur. Penyebabnya belum diketahui, diduga
virus sebagai penyebab timbulnya erupsi.(5)
Menurut Andrew ( 2006 ), Pitiriasis
Rosea adalah peradangan kulit berupa eksantema yang ditandai dengan lesi
makula-papula berwarna kemerahan ( salmon
colored ) berbentuk oval, circinate
tertutup skuama collarette, soliter
dan lama kelamaan menjadi konfluen.
Ketika
lesi digosok menurut aksis panjangnya, skuama cenderung terlipat melewati garis
gosokan ( hanging curtain sign ). (3)
II.2. EPIDEMIOLOGI
Kurang lebih 75% kasus pitiriasis rosea
didapatkan pada usia antara 10-35 tahun. Puncak insidensnya terdapat pada usia
antara 20-29 tahun.
Namun ada juga yang mengatakan puncak insidensinya
terdapat pada usia antara 15-40 tahun. Namun bagaimanapun penyakit ini bisa
muncul dari usia 3 bulan.(2,3,9)
Prevalensi yang dilaporkan dari pusat dermatologi adalah
0,3-3 %. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia
dan didapatkan kira-kira sebanyak 20%
dari setiap kunjungan pasien yang berobat jalan pada ahli penyakit kulit.
Insidens pada pria dan wanita hampir sama, walaupun sedikit lebih banyak
ditemukan pada wanita.(6,8)
II.3. ETIOLOGI
Penyebab dari penyakit ini belum
diketahui, demikian pula cara penyebaran infeksinya. Ada yang mengemukanan
hipotesis bahwa penyebabnya adalah virus karena merupakan penyakit swasima (self limiting disease) yang umumnya
sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu.(1)
Watanabe et al melakukan penelitian dan mempercayai bahwa Pitiriasis Rosea
disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi aktif dari Herpes Virus ( HHV
)-6 dan -7 pada sel mononuklear dari kulit yang mengandung lesi, kemudian
mengidentifikasi virus pada sampel serum penderita. Dimana virus-virus ini
hampir kebanyakan didapatkan pada masa kanak-kanak awal dan tetap ada pada fase
laten dalam sel mononuklear darah perifer, terutama CD-4 dan sel T, dan pada
air liur.(3)
Menurut Broccolo dkk 2005, DNA HHV-7 dan
sedikit DNA HHV-6 ditemukan pada plasma bebas dalam plasma atau sampel serum
dari banyak penderita pityriasis rosea, dan tidak ditemukan pada individu yang
menderita penyakit inflamasi kulit lainnya. Protein dan mRNA HHV-7 dan sedikit
mRNA HHV-6 dan protein, dideteksi pada kumpulan leukosit yang ditemukan di
regio perivaskular dan perifolikular pada lesi PR, tetapi tidak ditemukan pada
pasien dengan penyakit inflamasi kulit lainnya. Peningkatan imunoglobulin
spesifik HHV-6 dan HHV-7 pada kondisi tidak adanya antibodi imunoglobulin G
spesifik terhadap virus tidak terjadi pada pasien PR, sementara pada
peningkatan infeksi virus primer terhadap antibodi IgM sendiri merupakan tanda
khas. Kemudian penemuan terakhir bahwa terdapat DNA HHV-6 dan HHV-7 pada saliva pasien dengan PR, yang tidak
ditemukan pada pasien-pasien dengan infeksi primer oleh virus-virus ini.
Berdasarkan pada penemuan-penemuan ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah
pityriasis rosea ini berkaitan erat dengan reaktivasi HHV-7 dan sedikit HHV-6.(6)
Chlamydia
pneumonia, Mycoplasma pneumonia dan Legionella pneumonia telah dikemukakan
sebagai agen penyebab pitiriasis rosea yang berpotensi kuat, namun belum ada
penelitian yang menunjukkan kenaikan kadar antibodi yang signifikan terhadap
mikroorganisme yang telah disebutkan di atas pada penderita pitiriasis rosea.(2)
Erupsi kulit yang mirip dengan
pitiriasis rosea dapat timbul sebagai akibat dari reaksi obat. Macam-macam obat
yang berhubungan dengan munculnya erupsi kulit mirip pitiriasis rosea antara
lain:(3)
Barbiturat
|
Bismuth
|
Captopril
|
Clonidine
|
Senyawa
emas
|
Imatinib
(Gleevec)
|
Interferon
|
Ketotifen
(Zaditor)
|
Arsen
|
Methopromazine
|
Ergotamine
|
Hidroksiklorokuin
|
Tripelennamine Hidroklorida
|
Lisinopril
|
II.4. PATOFISIOLOGI
Para ahli masih berbeda pendapat tentang
faktor-faktor penyebab timbulnya PR. Ada yang menduga penyebabnya adalah virus,
dikarenakan penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limited). Keterlibatan dua virus herpes yaitu HHV-6
dan HHV-7, telah diusulkan sebagai penyebab erupsi. Dilaporkan terdapat DNA
virus dalam peripheral blood mononuclear cell
(PBMC) dan lesi kulit dan hal ini tidak terpengaruh dari banyaknya orang dengan
PR akut. HHV-7 terdeteksi sedikit lebih banyak daripada HHV-6, tetapi sering
kedua virus ditemukan. Namun, bukti dari adanya HHV-6 atau HHV-7 dan aktivitasnya
juga ditemukan dalam proporsi (10-44%) dari individu yang tidak terpengaruh,
hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan dengan infeksi, di mana virus tidak
selalu menyebabkan penyakit..(4)
Sementara ahli yang lain mengaitkan
dengan berbagai faktor yang diduga berhubungan dengan timbulnya PR, misalnya faktor
penggunaan obat-obat tertentu.(3)
II.5. HISTOPATOLOGI
Pemeriksaan histopatologi sangat
membantu dalam meyingkirkan diagnosa banding. Gambaran histopatologi dari
pitiriasis rosea meliputi:(10)
·
Akantosis ringan
·
Parakeratosis fokal
·
Ekstravasasi eritrosit
ke lapisan epidermis
·
Spongiosis dapat
ditemukan pada kasus akut
·
Infiltrat perivaskular
ringan dari limfosit ditemukan pada dermis.
Gambar
1. Gambaran Histopatologis Pitiriasis Rosea(6)
II.6. GEJALA KLINIS
Kurang lebih pada 20-50% kasus, bercak
merah pada pitiriasis rosea didahului dengan munculnya gejala mirip infeksi
virus seperti gangguan traktus respiratorius bagian atas atau gangguan
gastrointestinal. Sumber lain menyebutkan kira-kira 5% dari kasus pitiriasis
rosea didahului dengan gejala prodormal berupa sakit kepala, rasa tidak nyaman
di saluran pencernaan, demam, malaise, dan artralgia. Lesi utama yang paling
umum ialah munculnya lesi soliter berupa makula eritem atau papul eritem pada
batang tubuh atau leher, yang secara bertahap akan membesar dalam beberapa hari
dengan diameter 2-10 cm, berwarna pink salmon, berbentuk oval dengan skuama
tipis.3,4,6
Lesi yang pertama muncul ini disebut
dengan Herald patch/Mother plaque/Medalion. Insidens munculnya Herald patch dilaporkan sebanyak 12-94%,
dan pada banyak penelitian kira-kira 80% kasus pitiriasis rosea ditemukan
adanya Herald patch. Jika lesi ini
digores pada sumbu panjangnya, maka skuama cenderung untuk melipat sesuai
dengan goresan yang dibuat, hal ini disebut dengan “Hanging curtain sign”. Herald
patch ini akan bertahan selama satu minggu atau lebih, dan saat lesi ini
akan mulai hilang, efloresensi lain yang baru akan bermunculuan dan menyebar
dengan cepat. Namun kemunculan dan penyebaran efloresensi yang lain dapat
bervariasi dari hanya dalam beberapa jam hingga sampai 3 bulan. Bentuknya
bervariasi dari makula berbentuk oval hingga plak berukuran 0,5-2 cm dengan
tepi yang sedikit meninggi. Warnanya pink salmon (atau berupa hiperpigmentasi
pada orang-orang yang berkulit gelap) dan khasnya terdapat koleret dari skuama
di bagian tepinya. Umum ditemukan beberapa lesi berbentuk anular dengan bagian
tengahnya yang tampak lebih tenang.(3,4,6)
|
|
Gambar
2. Herald Patch(4)
Pada pitiriasis rosea gejalanya akan
berkembang setelah 2 minggu, dimana ia mencapai puncaknya. Karenanya akan
ditemukan lesi-lesi kecil kulit dalam stadium yang berbeda. Fase penyebaran ini
secara perlahan-lahan akan menghilang secara spontan setelah 3-8 minggu.
Lesi-lesi ini muncul terutama pada batang tubuh dengan sumbu panjang sejajar
pelipatan kulit. Susunannya
sejajar dengan kosta, sehingga tampilannya tampak
seperti pohon natal yang terbalik (inverted
christmas tree appearance) yang
merupakan lesi patognomonik dari pitiriasis rosea.(1)
|
Lokasinya juga sering ditemukan di
lengan atas dan paha atas. Lesi-lesi yang muncul berikutnya jarang menyebar ke
lengan bawah, tungkai bawah, dan wajah. Namun sesekali bisa didapatkan pada
daerah tertentu seperti leher, sela paha, atau aksila. Pada daerah ini lesi
berupa bercak dengan bentuk sirsinata yang bergabung dengan tepi yang tidak
rata sehingga sangat mirip dengan Tinea corporis. Gatal ringan-sedang dapat
dirasakan penderita, biasanya saat timbul gejala. Gatal merupakan hal yang
biasa dikeluhkan dan gatalnya bisa menjadi parah pada 25% pasien. Gatal akan
lebih dirasakan saat kulit dalam keadaan basah, berkeringat, atau akibat dari
pakaian yang ketat. Akan tetapi, 25% penderitanya tidak merasakan gatal. Relaps
dan rekurensi jarang sekali ditemukan. Ekskoriasi jarang ditemukan. Efek dari
terapi yang berlebih atau adanya dermatitis kontak, umum ditemukan.(1,3)
II.7. VARIASI PITIRIASIS ROSEA(2,9)
·
Pitiriasis rosea
inversa
o Lesi
kulit banyak terdapat di wajah dan distal ekstremitas, daerah fleksor seperti
aksila dan sela paha, hanya sedikit yang terdapat di tubuh.
o Umumnya
terjadi pada anak-anak.
·
Pitiriasis rosea terlokalisasi
o Lesinya
dapat terjadi pada satu area saja, sehingga diagnosis
menajdi sulit
·
Pitiriasis rosea
giganta
o Ditemukan
papul-papul atau plak yang besar,
tetapi jumlahnya sedikit
·
Vesicular pitiriasis
rosea
o Lebih
sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.
o Menyerupai
infeksi varisela.
·
Purpuric pitiriasis
rosea
o Hanya
ada 10 kasus yang dilaporkan, anak-anak dan dewasa sama banyak.
o Secara
histopatologi terdapat perbedaan pada ekstravasasi eritrosit ke stratum
papilare dermis tanpa adanya bukti vaskulitis.
o Manifestasi
klinisnya berupa petechie, dan ekimosis sepanjang Langer line pada leher, tubuh dan ekstremitas proksimal.
o Lesinya
mungkin dengan skuama yang lebih sedikit atau didominasi oleh pustule atau
purpura.
o Cenderung
meninggalkan tanda hipo atau hiperpigmentasi postinflamasi setelah sembuh,
terutama pada orang-orang yang memiliki banyak pigmen.
·
Urticarial pitiriasis
rosea
o Varian
yang jarang ditemukan.
o Menyerupai
urtikaria akut.
II.8. DIAGNOSA
Penegakan diagnosis
PR didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang.
1.
Anamnesis
Anamnesis dibutuhkan untuk mendukung penegakan diagnosis PR
yaitu:
a.
Pada PR
klasik, pasien biasanya menggambarkan onset dari timbulnya lesi kulit tunggal
pada daerah badan, beberapa hari sampai minggu kemudian diikuti timbulnya
berbagai lesi kecil.(6)
b.
Gatal
hebat dirasakan pada 25% pasien PR tanpa komplikasi, 50% lainnya merasakan
gatal dari yang ringan sampai sedang, dan 25% lainnya tidak mengeluhkan rasa
gatal.(6)
c.
Sebagian kecil pasien
menunjukkan gejala prodromal seperti gejala flu, demam, malaise, arthralgia,
dan faringitis.(6,12)
2.
Pemeriksaan
Fisik
Pada pemeriksaan terlihat:
a.
Kelainan berupa bercak berskuama dengan batas tegas berbentuk
oval atau bulat (“herald patch”) yang
meluas ke perifer, terlihat erupsi makulopapular berwarna merah-coklat
berukuran 0,5-4 cm.(6,12)
b.
Bagian tepi lesi terlihat lebih aktif, meninggi, eritematosa dengan
bagian tengah berupa central clearing.(12)
c.
Terlokalisasi pada badan, leher, dan daerah
poplitea atau pada area yang lembab dan
hangat misalnya di area lipatan kulit.(6,12)
d.
Erupsi sekunder mengikiuti
garis Langer, berbentuk pola pohon natal atau pola pohon cemara.(6,12)
Biopsi biasanya tidak selalu diindikasikan untuk
menggevaluasi pasien dengan suspek PR. Karena bisa terjadi
kesalahan untuk beberapa penyakit kulit, diagnosis klinis PR mungkin
kadang-kadang sulit, terutama di varian atipikal.(12)
II.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini jarang diperlukan dalam kasus PR. Pemeriksaan
fisik, hitung darah sel, biokimia dan analisis urin dalam rentang normal, kadang ditemukan leukositosis, neutrophilia,
basophilia dan limfositosis. (2,12)
Tes VDRL dan uji fluorescent
antibody trepenomal dilakukan untuk menyingkirkan adanya sifilis.(2)
b. Biopsi kulit
Superfisial peri infiltrasi vaskular dengan
limfosit, histiosit, dengan eosinofil jarang terlihat. Sel epidermis
menunjukkan sel darah merah diskeratosis dan ekstravasasi RBCs dapat dilihat.(2)
Gambar 7.
parakeratosis, akantosis minimal, spongiosis, eksositosis dengan
mononuklear yang cukup menginfiltrasi perivaskuler di atas dermis dan ekstravasasi RBC
II.10. DIAGNOSA
BANDING
Diagnosa banding dari pitiriasis rosea
mencakup:
1. Sifilis
stadium II (yang paling penting)(6,11)
Sifilis stadium II
dapat menyerupai pitiriasis rosea, namun biasanya pada sifilis sekunder lesi
juga terdapat di telapak tangan, telapak kaki, membran mukosa, mulut, serta
adanya kondiloma lata atau alopesia. Tidak ada keluhan gatal (99%). Ada riwayat
lesi pada alat genital. Tes serologis terhadap sifilis perlu dilakukan terutama
jika gambarannya tidak khas dan tidak ditemukan Herald patch.
2. Psoriasis
gutata(6)
Kelainan kulit yang
terdiri atas bercak-bercak eritem yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya.
Eritem sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering eritem
yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis,
kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan
bervariasi, jika seluruhnya atau sebagian besar lentikuler disebut sebagai psoriasis
gutata. Umumnya setelah infeksi Streptococcus
di saluran napas bagian atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada
anak dan dewasa muda.
3. Lichen
planus(11)
Dapat menyerupai
pitiriasis rosea papular. Lesinya memiliki lebih banyak papul dan berwarna
violet/lembayung, ditemukan di membran mukosa mulut dan bibir.
4. Dermatitis
numularis(6)
Gambaran lesinya
berbentuk seperti koin dengan skuama yang dapat menyerupai pitiriasis rosea.
Namun tidak terdapat koleret dan predileksi tempatnya pada tungkai, daerah yang
biasanya jarang terdapat lesi pada pitiriasis rosea.
5. Parapsoriasis
(Pitiriasis lichenoides kronik)(6,11)
Penyakit ini jarang
ditemukan, pada bentuk yang kronis mungkin didapatkan “cigarrete paper” atrofi. Penyakit ini dapat berkembang menjadi
mikosis fungoides.
6. Dermatitis
seboroik(11)
Pada dermatitis
seboroik, kulit kepala dan alis mata biasanya berskuama dan ruam kulitnya
ditutupi skuama yang berminyak dengan predileksi tempat di sternum, regio
intercapsular, dan permukaan fleksor dari persendian-persendian.
7. Tinea
corporis(1,6)
Herald
patch atau bercak yang besar pada pitiriasis
rosea dapat menyerupai tinea corporis. Tinea corporis juga memiliki lesi
papuloeritemaskuamosa yang bentuknya anular, dengan skuama, dan central healing. Namun pada tepinya bisa
terdapat papul, pustul, skuama, atau vesikel. Bagian tepi lesi yang lebih aktif
pada infeksi jamur ini menunjukkan adanya hifa pada pemeriksaan sitologi atau
pada kultur, yang membedakannya dengan pitiriasis rosea. Tinea corporis jarang
menyebar luas pada tubuh.
8. Erupsi
kulit mirip pitiriasis rosea oleh karena obat(6,11)
Senyawa emas dan
captopril paling sering menimbulkan kelainan ini. Setelah diketahui macam-macam
obat yang bisa menginduksi timbulnya erupsi kulit mirip pitiriasis rosea,
kasusnya sudah berkurang sekarang. Gambaran klinisnya ialah lesinya tampak
lebih besar dengan skuama yang menutupi hampir seluruh lesi, sedikit yang
ditemukan adanya Herald patch,
umumnya sering didapatkan adanya lesi pada mulut berupa hiperpigmentasi
postinflamasi. Sebagai tambahan, erupsi kulit mirip pitiriasis rosea karena
obat yang berlangsung lama dikatakan ada hubungannya dengan AIDS.
II.10. KOMPLIKASI
Tidak ada komplikasi yang
serius yang terjadi pada pasien dengan pitiriasis rosea. Gatal
yang hebat bisa saja terjadi dan mengarah pada pembentukan eksema dan infeksi
sekunder akibat garukan.
Pasien mungkin mengalami gejala seperti flu, tetapi
biasanya relatif ringan jika hal ini terjadi. Sekitar
1/3 pasien PR mengalami derajat kecemasan dan depresi yang signifikan, yang
diakibatkan ketidakpastian mengenai durasi penyembuhan penyakitnya. Edukasi
sangat penting pada pasien-pasien ini bahwa tidak ada komplikasi yang serius
yang akan terjadi. Namun, PR selama kehamilan perlu mendapatkan perhatian
khusus. Pada 38 kasus kehamilan dengan PR, Drago dkk melaporkan 9 kelahiran
prematur, walaupun semua bayi lahir dari ibu yang tidak memliki kelainan dalam
kehamilannya. Lima ibu mengalami keguguran, paling sering terjadi pada
trimester pertama. Oleh karena itu perlu diwaspadai dan terus diikuti
perkembangannya secara teliti dan diberikan perhatian yang lebih.(6)
II.11. PENATALAKSANAAN
Kebanyakan pasien tidak memerlukan
pengobatan karena sifatnya yang asimptomatik. Penatalaksanaan pada pasien yang
datang berobat pertama kali:(11)
a. Tenangkan
pasien bahwa ia tidak memiliki penyakit sistemik dalam tubuhnya, penyakit ini
tidak menular, dan biasanya tidak akan berulang kembali.
b. Colloidal bath
1 bungkus bubur gandum
Aveeno dituangkan ke dalam bak mandi atau ember besar yang berisi 6-8 inci air
yang hangatnya suam-suam kuku. Pasien diminta untuk mandi selama 10-15 menit
setiap harinya. Hindari sabun dan air panas sebisanya untuk mengurangi rasa
gatal yang ada.
c. Lotion
kocok putih non-alkohol atau Calamine lotion digunakan 2 kali sehari pada lesi
kulit.
d. Antihistamin
jika ada keluhan gatal.
e. Terapi
UVB dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan suberitem, sebanyak 1-2 kali
seminggu. Gejala klinis yang berat akan berkurang namun tidak akan berpengaruh
terhadap rasa gatal dan lamanya sakit.
Kunjungan
berikutnya:(11)
a. Jika
kulitnya menjadi terlalu kering karena Colloidal
bath dari lotionnya, hentikan pemakaian lotion atau diganti dengan krim
atau salep hidrokortison 1%, gunakan 2 kali sehari pada daerah yang kering.
b. Teruskan
fototerapi.
Jika
disertai dengan gatal hebat:(11)
a. Selain
obat-obat di atas diberikan pula prednison 5 mg. Diberikan 4 kali 1 tablet
selama 3 hari, kemudian 3 kali 1 tablet selama 4 hari, kemudian 2 tablet setiap
pagi selama 1-2 minggu, sampai gatalnya menghilang.
b. Eritromisin
250 mg, diberikan 2 kali sehari selama 2 minggu, telah dicoba oleh beberapa penulis.
Dari suatu penelitian diketahui
eritromisin dosis 250 mg yang diberikan 4 kali sehari pada orang dewasa dan
dosis 25-40 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis untuk anak-anak, dalam waktu 2 minggu
semua gejala klinis yang nampak sebelumnya telah hilang.(3)
Fototerapi dapat bermanfaat pada
kasus-kasus yang lama penyembuhannya. Fototerapi UVB dapat mempercepat hilangnya
erupsi kulit yang ada. Satu-satunya efek samping dari terapi ini ialah kulit
yang terasa sedikit perih dan kekeringan pada kulit. Namun risiko terjadinya
hiperpigmentasi postinfeksi dapat meningkat dengan terapi ini.(2,3)
II.12. PROGNOSA
Pitiriasis rosea merupakan penyakit akut
yang bersifat self limiting illnes
yang akan menghilang dalam waktu 3-8
minggu, dengan beberapa minngu pertama terkait dengan lesi kulit inflamasi yang
baru dan mungkin gejala seperti flu. Dapat terjadi hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi pasca inflamasi pada kasus pityriasis rosea.
Relaps dan rekuren jarang ditemukan.(1,5,6)
II.13. KESIMPULAN
Pitiriasis
Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya yang dimulai
dengan sebuah lesi inisial
berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian disusul
oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan paha atas yang tersusun
sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu.(1,2)
Gejala klinis dimulai dari
lesi inisial yang berupa “herald patch”,
kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil. Umumnya herald patch
ini terdapat di lengan atas, badan atau leher, bias juga pada wajah, kepala
atau penis.(8)
Para
ahli masih berbeda pendapat tentang faktor-faktor penyebab timbulnya PR. Ada
yang menduga penyebabnya adalah virus, dikarenakan penyakit ini dapat sembuh dengan
sendirinya (self limited). Keterlibatan
dua virus herpes yaitu HHV-6 dan HHV-7, telah diusulkan sebagai penyebab erupsi
Penegakan diagnosis
PR didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang. Kebanyakan pasien tidak memerlukan
pengobatan karena sifatnya yang asimptomatik, Sangat penting bagi dokter untuk mengetahui
spektrum yang luas dari varian pityriasis
rosea, sehingga manajemen yang tepat dan pasti
dapat dilakukan. Terutama pada anak-anak, diagnosis banding erupsi kulit lebih
sulit dibandingkan orang dewasa. Untuk erupsi yang atipikal tanpa diagnosis
pasti, lebih aman untuk mempertimbangkan melakukan biopsi pada lesi kulit dan
pemeriksaan lainnya sehingga diagnosis banding penting untuk tidak dilewatkan.(12)
DAFTAR PUSTAKA
- Djuanda
Adhi. Dermatosis Eritriskuamosa. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar,
Aisah Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi ke-5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2007: 189-200.
- Vijayabhaskar C. Pityriasis Rosea. Journal of the
Indian Society of Teledermatology. 2008. Vol 2(3): 1-5.
- James
William D, Berger Timothy G, Elston Dirk M. Andrew’s Disease of The Skin
Clinical Dermatology; edisi ke-10. Philadelphia, USA: Elsevier. 2006:
208-9.
- Sterling, J.C. Viral Infections. Dalam: Rook’s textbook of dermatology; edisi ke-7. 2004: 79-82.
- Sankararaman S, Velayuthan S. Multiple Recurrence
in Pityriasis Rosea. Indian J Dermatol 2014. 2012. 59: 316
- Blauvelt, Andrew. Pityriasis
Rosea. Dalam: Dermatology in General
Medicine Fitzpatrick’s. The McGraw-Hill Companies, Inc. 8 ed. 2012: 362-65.
- Zawar V. Giant Pityriasis Rosea. Indian J
Dermatol. 2010. 55(2): 192-4
- Polat M, Yildirim Y, Makara A. Palmar Herald
Patch in Pityriasis Rosea. Australian Journal of Dermatology. 2012. 55:
64-5.
- Relhan V, Sinha S, Garg VK, Khurana N. Pityriasis
Rosea with Erythema Multiforme- Like Lesions: An Observational Analysis. Indian
J Dermato 2013. 2012. 58: 242.
- Elder D, Johnson B, Elenitsas R. Lever’s
Histopathology of the Skin; edisi ke-9. 2006:193-4.
- Hall John C. Sauer’s Manual of Skin Disease; edisi ke-9. Philadelphia, USA: Lippincott William and Wilkins. 2006: 157-61.
- Ermertcan AT, Özgüven A, Ertan P, Bilaç C, Temiz P, eds. Childhood pityriasis rosea inversa without herald patch mimicking cutaneous mastocytosis. Iranian Journal of Pediatrics, Jun 2010;20(2):237241